UPAH MENGUPAH
A. Sejarah Upah Mengupah
Upah menurut keputusan menteri tenaga kerja dan transmigrasi Nomor 102 Tahun 2004 adalah hak yang diterima pekerja dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja yang dibayarkan berdasarkan perjanjian atau kontrak kerja karena jasa yang diberikannya. Majikan sebagai pemberi kerja bertanggung jawab sepenuhnya untuk membayar upah pekerjanya, baik dalam kondisi untung ataupun sedang merugi.
Model upah seperti ini telah dikenal lama jauh sebelum masuknya agama islam. Dalam banyak cerita tarikh islam, Muhammad semasa kecil pernah bekerja sebagai pengembala kambing bagi penduduk Mekah dengan imbalan upah. Bahkan, setelah dewasa Muhammad beberpa kali melakukan transaksi untuk menjalankan barang dagangan Khodijah dengan imbalan upah seekor unta yang masih muda dalam setiap kali perjalan ke kota-kota dagang. Setelah Muhammad dikenal oleh penduduk Mekah dengan kerajinan dan kejujuran serta integritasnya yang tinggi, maka reputasinya sebagai pedagnag menjadi semakin baik. Reputasi ini telah menarik minat Khodijah untuk lebih mempercayakan barang dagangannya kepada Muhammad. Al-Allamah Adz-Dzahabi telah meriwayatkan dari cerita Muhammad: “... Saya telah dua kali melakukan perjalanan dagang untuk Khodijah dan mendapatkan upah dua ekor unta betina dewasa.“ [1]
Selain model hubungan pekerja-majikan dengan sistem upah sebagaimana telah di uraikan, waktu itu dikenal pula model yang menggabungkan upah dengan bonus prestasi kerja. Dalam suatu kesempatan, Khadijah setuju mempekerjakan Muhammad untuk membawa barang-barang dagangannya ke Syam dengan upah yang telah ditentukan. Karena prestasi dan kejujurannya, Muhammad berhasil menjual barang-barang Khadijah dengan memberi lebih banyak keuntungan dibandingkan yang pernah dilakukan orang lain sebelumnya. Dari prestasinya tersebut, Khadijah kemudian memberikan sebagian keuntungan yang lebih banyak daripada yang telah disepakati sebelumnya (Siddiqi, 1992:52).[2]
B. Pengertian Upah Mengupah
Menurut Dewan Penelitian Perupahan Nasional, upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pemberi kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dan akan dilakukan, berfungsi sebagai jaminan kelangsungan hidup yang layak bagi kemanusiaan dan produksi, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan, undang-undang dan peraturan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemberi dan penerima kerja.
Hadits Rasulullah saw tentang upah yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w bersabda :
“ Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).
Dari hadits di atas, maka dapat didefenisikan bahwa Upah adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (Adil dan Layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akhirat (imbalan yang lebih baik).[3]
Upah mengupah (ijaratu al-ajir) adalah memberikan suatu jasa (berupa tenaga maupun keahlian) pada pihak tertentu dengan imbalan sejumlah upah (ujrah). Upah mengupah disebut juga dengan jual beli jasa. Misalnya ongkos kendaraan umum, upah proyek pembangunan, dan lain-lain.
Pada dasanya pembayaran upah harus diberikan seketika juga, sebagaimana jual beli yang pembayarannya waktu itu juga. Tetapi sewaktu perjanjian boleh diadakan dengan mendahulukan upah atau mengakhirkan. Jadi pembayarannya sesuai dengan perjanjiannya. Tetapi kalau ada perjanjian, harus segera diberikan manakala pekerjaan sudah selesai. Nabi bersabda: "Upah harus diberikan sebelum peluhnya kering."
Kematian orang yang mengupah atau diupah tidak membatalkan akad pengupahan. Artinya, kalau orang yang mengupah mati, padahal permintaannya sudah dikerjakan oleh orang yang diupah, keluarganya wajib memberikan upahnya. Tetapi kalau orang yang diupahnya mati sebelum menerima upahnya, ahli warisnya menerima upahnya. Tetapi kalau mati sebelum menyelesaikan pekerjaan, urusannya di tangan Allah.
Dalam transaksi ini, bentuk pekerjaan (al-‘amal dan al-juhd), lamanya pekerjaan (muddatu al-‘amal) dan upah (ujrah) harus jelas. Rasullullah SAW berkata:”Apabila salah seorang diantara kalian mempekerjakan seseorang, maka hendaknya memberitahukan upahnya kepada orang itu”,
Ketidakjelasan dalam ijarah hukumnya fasad.
C. Rukun Upah Mengupah
1. Musta’jir (pihak tertentu baik perorangan, perusahaan/kelompok maupun negara sebagai pihak yang mengupah )
2. ajir (orang yang diupah).
Baik ajir maupun musta’jir tidak diharuskan muslim. Islam membolehkan seseorang bekerja untuk orang non muslim atau sebaliknya mempekerjakan orang non muslim.
3. Shighat (akad)
Syarat ijab qabul antara ajir dan musta’jir sama dengan ijab qabul yang dilakukan dalam jual beli.
4. Ujrah (upah)
Dasar yang digunakan untuk penetapan upah adalah besarnya manfaat yang diberikan oleh pekerja (ajiir) tersebut. Bukan didasarkan pada taraf hidup, kebutuhan fisik minimum ataupun harga barang yang dihasilkan. Upah yang diterima dari jasa yang haram, menjadi rizki yang haram.
5. Ma'qud alaihi (barang yang menjadi Obyek)
Sesuatu yang dikerjakan dalam upah mengupah, disyaratkan pada pekerjaan yang dikerjakan dengan beberapa syarat. Adapun salah satu syarat terpenting dalam transaksi ini adalah bahwa jasa yang diberikan adalah jasa yang halal.
Dilarang memberikan jasa yang haram seperti keahlian membuat minuman keras atau membuat iklan miras (untuk paling sedikit ada 10 kegiatan bertalian yang dilarang Islam, sementara untuk riba ada empat pihak yang dilaknat: pemberi,penerima,pencatat dan saksi) dan sebagainya.[4]
Asal pekerjaan yang dilakukan itu dibolehkan Islam dan aqad atau transaksinya berjalan sesuai aturan Islam. Bila pekerjaan itu haram, sekalipun dilakukan oleh orang non muslim juga tetap tidak diperbolehkan.
• Rasullullah Muhammad saw. sendiri diriwayatkan pernah meminta orang yahudi sebagai penulis dan penterjemah. Juga pernah meminta orang musyrik sebagai penunjuk jalan
• Abu Bakar dan Umar Bin Khattab pernah meminta orang Nashrani untuk menghitung harta kekayaan.
• Ali bin Abi Thalib diminta oleh orang yahudi untuk menyirami kebun dengan upah tiap satu timba sebutir kurma.
D. Syarat Ujrah (upah)
Para ulama menetapkan syarat upah, yaitu:
- Berupa harta tetap yang dapat diketahui
- Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa rumah untuk ditempati dengan menempati rumah tersebut.[5]
E. Hukum upah-mengupah
Upah mengupah atau ijarah ‘ala al-a’mal, yakni jual beli jasa, biasanya berlaku dalam beberapa hal seperti menjahitkan pakaian, membangun rumah, dan lain-lain. Ijarah ‘ala al-a’mal terbagi dua, yaitu:
- Ijarah khusus
Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya, orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang telah memberinya upah.
- Ijarah musytarik
Yaitu ijarah dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerja sama. Hukumnya dibolehkan bekerja sama dengan orang lain.[6]
F. Tanggung jawab yang disewa (Ajir)
- Ajir Khusus
Ajir khusus, sebagaimana dijelaskan di atas adalah orang yang bekerja sendiri dan menerima upah sendiri, seperti pembantu rumah tangga. Jika da barang yang rusak, ia tidak bertanggungjawab untuk menggantinya.
- Ajir Musytarik
Ajir musytarik, seperti para pekerja di pabrik, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan tanggung jawab mereka.
- Ulama Hanafiyah, jafar, Hasan Ibn Jiyad, dan Imam Syafi’i
Pendapat yang paling sahih adalah mereka tidak bertanggung jawab atas kerusakan sebab kerusakan itu bukan disebabkan oleh mereka, kecuali bila disebabkan oleh permusuhan.
- Imam Ahmad dan dua sahabat Imam Abu Hanifah
Mereka berpendapat bahwa ajir bertanggung jawab atas kerusakan jika kerusakan disebabkan oleh mereka walaupun tidak sengaja, kecuali jika disebabkan oleh hal-hal yang umum terjadi
- Menurut ulam Malikiyah
Pekerja bertanggungjawab atas kerusakan yang disebabkannya walaupun tidak disengaja atau karena kelalainnya. Hal ini didasarkan pada hadits dibawah ini:
“Rasulullah bersabda, “Tangan yang mengambil bertanggungjawab sampai membayarnya”(HR. Ahmad dan Ashab Sunan yang empat).[7]
G. Perubahan dari Amanah menjadi Tanggung jawab
Sesuatu yang ada di tangan ajir, misalnya kain pada seseorang penjahit, menurut ulam Hanafiyah dianggap sebagai amanah. Akan tetapi, amanah tersebut akan berubah menjadi tanggung jawab bila dalam keadaan berikut:
- Tidak menjaganya
- Dirusak dengan sengaja. Dalam ajir musytara, apabila murid ajir ikut membantu, pengajarnyalah yang bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.
- Menyalahi pesanan penyewa[8]
H. Gugurnya upah
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan upah bagi ajir, apabila barang yang ditangannya rusak.
Menurut ulama Syafi’iyah, jika ajir bekerja di tempat yang dimiliki oleh penyewa, ia tetap memperoleh upah. Sebaliknya, apabila barang berada di tangannya, ia tidak mendapatkan upah. (Asy-Syrazi, Op.Cit, juz 1, hlm. 409) pendapat tersebut senada dengan pendapat ulama hanabilah (Ibn Qudamah, Op. Cit, juz V, hlm. 487).
Ulama Hanafiyah juga hamper senada dengan pendapat di atas. Hanya saja diuraikan lagi:
- Jika benda ada ditangan ajir
- Jika da bekas pekerjaan, ajir berhak mendapatkan upah sesuai bekas pekerjaan tersebut.
- Jika tidak ada bekas pekerjaan, ajir berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya sampai akhir
- Jika benda berada di tangan penyewa. Pekerja berhak mendapat upah setelah selesai bekerja
I. Pengekangan Barang
Ulama Hanafiyah membolehkan ajir untuk mengekang barang yang telah ia kerjakan, sampai ia mendapatkan upah. Akan tetapi, jika dalam masa pengekangan, barang tersebut rusak, ia harus bertanggung jawab.[9]
J. Kerja sama Model Upah
Konsep islam menekankan bahwa tenaga kerja merupakan mitra dalam berproduksi. Sebagai mitra usaha maka kedudukan pengusaha dengan pekerjanya adalah seimbang. Firman Allah menyatakan bahwa ” di hadapan Allah manusia itu pada hakikatnya adalah sama, yang membedakannya hanyalah derajat ketaqwaannya”. Firman Allah tersebut menunjukkan bahwa dalam agama islam dikenal konsep yang menekankan adanya kesetaraan diantara sesama manusia, adanya kesetaraan ini merupakan wujud terjadinya keseimbangan hubungan antara pekerja dengan majikannya. Oleh karena itu, islam sangat menafikan terjadinya hubungan yang tidak seimbang diantara sesama manusia. Dalam hal ini, islam mengakui bahwa hubungan pekerja dengan majikan adalah hubungan kemitraan dalam suatu produksi, dengan demikian islam menganggap penting kebijakan tentang pengupahan. Pandangan islam menekankan, bahwa upah harus ditetapkan melalui suatu cara yang paling layak tanpa adanya tekanan dari suatu pihak kepada pihak yang lain. Masing-masing pihak memperoleh bagian yang sah dari usahanya tanpa disertai sikap dzalim terhadap pihak yang lainnya. Pekerja berhak memperoleh upah sesuai dengan kontribusinya, sedangkan majikan berhak pula menerima keuntungan sesuai proporsi dari modalnya.
Hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Al-Bukharin (Afzalurrahaman, 2000) menyatakan: “berikanlah makanan dan pakaian kepada para pelayan dan budak-budak sesuai dengan kebiasaan yang lazim, dan bebanilah mereka dengan beban pekerjaan yang mampu mereka pikul “. Hadis ini dengan jelas menunjukkan adanya larangan melakukan eksploitasi terhadap tenaga yang bekerja untuk kepentingan majikan. Upah yang diberikan haruslah upah yang layak, agar dapat memenuhi kebutuhan dasar pekerja sesuai dengan taraf hidupnya. Untuk menentukan tingkat upah yang layak dalam suatu negara maka penting ditetapkan adanya tingkat upah minimum.
Guna memenuhi prinsip-prinsip keadilan dalam masyarakat muslim, upah haruslah ditentukan melalui negosiasi antara pekerja, majikan, dan negara. Menurut Qaradhawi (2001), kepentingan para pekerja dan majikan harus diperhitungkan secara adil sampai ada keputusan tentang upah. Tugas negara adalah memastikan bahwa upah tidak ditetapkan terlalu rendah sehingga menafikan kebutuhan hidup pekerja. Sebaliknya, upah juga tidak ditentukan terlalu tinggi sehingga menafikan bagian untuk majikan. Untuk mendapatkan tingkat upah yang layak, maka peran negara yang paling menentukan adalah adanya upah minimum denagn mempertimbangkan kebutuhan yang senan tiasa berubah-ubah. Tingkat upah minimum ini secara berkala harus ditinjau ulang untuk dilakukan penyesuaian terhadap adanya perubahan tingkat harga serta biaya hidup.[10]
K. Upah dalam Pekerjaan Ibadah
Upah dalam perbuatan ibadah (ketaatan) seperti sholat, puasa, haji dan membaca Al-Qur’an di perselisihkan kebolehannya oleh para ulama, karena berbeda cara pandang terhadap pekerjaan-pekerjaan ini
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa ijarah dalam perbuatan taat seperti menyewa orang lain untuk shalat, puasa, haji, atau membaca Al-Qur’an yang pahalanya di hadiahkan kepada orang tertentu, seperti kepada arwah ibu bapak dari yang menyewa, adzan, komat, dan menjadi imam, haram hukumnya mengambil upah dari pekerjaan tersebut karena Rasulallah SAW. Bersabda:
“Bacalah olehmu Al-Qur’an dan jangan kamu (cari) makan dengan jalan itu”.
“Jika kamu mengangkat seseorang menjadi Mu’adzin, maka janganlah kamu pungut dari adzan itu suatu upah”.
Perbuatan seperti adzan, komat, shalat, haji, puasa, membaca Al-Qur’an dan dzikir tergolong perbuatan untuk taqarrab kepada Allah karenanya tidak boleh mengambil upah untuk pekerjaan itu selain dari Allah.
Hal yang sering terjadi di beberapa daerah di Negara Indonesia, apabila salah seorang muslim meninggal dunia, maka orang-orang yang ditinggal mati (keluarga) memerintah kapada para santri atau yang lainnya yang pandai membaca Al-Qur’an di rumah atau di kuburan secara bergantian selama tiga malam bila yang meninggal belum dewasa, tujuh malam bagi orang yang meninggal sudah dewasa dan adapula bagi orang-orang tertentu mencapai empat puluh malam. Setelah selesai pembacaan Al-Qur’an pada waktu yang telah ditentukan, mereka diberi upah alakadarnya dari jasanya tersebut.
Pekerjaan seperti ini batal menurut hukum Islam karena yang membaca Al-Qur’an bila bertujuan untuk memperoleh harta maka tak ada pahalanya. Lantas apa yang akan dihadiahkan kepada mayit, sekalipun membaca Al-Qur’an niat karena Allah, maka pahala pembacaan ayat Al-Qur’an untuk dirinya sendiri dan tidak bisa diberikan kepada orang lain, karena Allah berfirman: “Mereka mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang ia kerjakan” (Al-Baqarah: 282).
Dijelaskan oleh Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah, para ulama memfatwakan tentang kebolehan mengambil upah yang dianggap sebagai perbuatan baik, seperti para pengajar Al-Qur’an, guru-guru di sekolah dan yang lainnya dibolehkan mengambil upah karena mereka membutuhkan tunjangan untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, mengingat mereka tidak semapat melakukan pekerjaan lain seperti dagang, bertani dan yang lainnya dan waktunya tersita untuk mengajarkan Al-Qur’an.
Menurut Mazhab Hanbali bahwa pengambilan upah dari pekerjaan adzan, komat, mengajarkan Al-Qur’an, fiqh, hadits, badal haji dan puasa qodo adalah tidak boleh, diharamkan bagi pelakunya untuk mengambil upah tersebut. Namun, boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan tersebut jika termasuk kapada mashalih, seperti mengajarkan Al-Qur’an, hadits dan fiqh, dan haram mengambil upah yang termasuk kepada taqarrub seperti membaca Al-Qur’an, shalat, dan yang lainnya.
Mazhab Maliki, Syafi’i dan Ibnu Hazm membolehkan mengambil upah sebagai imbalan mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu karena itu termasuk jenis imbalan perbuatan yang diketahui dan dengan tenaga yang diketahui pula.
Ibnu Hazm mengatakan bahwa pengambilan upah sebagai imbalan mengajar Al-Qur’an dan pengajarna ilmu, baik secara bulanan maupun sekaligus karena nash yang melarang tidak ada.
Abu Hanifah dan Ahmad melarang pengambilan upah dari tilawah Al-Qur’an dan mengajarkannya bila kaintan pembacaan dan pengajarannya dengan taat atau ibadah. Sementara Maliki berpendapat boleh mengambil imbalan dari pembacaan dan pengajaran Al-Qur’an, adzan dan badal haji.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa pengambilan upah dari pengajaran berhitung, khat, bahasa, sastra, fiqh, hadits, membangun masjid, menggali kuburan, memandikan mayit, dan membangun madrasah adalah boleh.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengambilan upah menggali kuburan dan membawa jenazah boleh, namun pengambilan upah memandikan mayit tidak boleh.
L. hak Menerima Upah Bagi Musta’jir adalah sebagai berikut.
- Ketika pekerjaan selesai dikerjakan, beralasan kepada hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah, Rasulullah SAW. Bersabda: “Berikanlah upah sebelum keringat pekerja itu kering”.
- Jika menyewa barang, uang sewaan dibayar ketika akad sewa, kecuali bila dalam akad ditentukan lain, manfaat barang yang diijarahkan mengalir selama penyewaan berlangsung.[11]
DAFTAR PUSTAKA
Jusmaliani. 2008. Bisnis Berbasis Syariah. Jakarta: Bumi Aksara
Syafei, H. Rachmat, 2001. Fiqh Muamalah, Bandung: CV. Pustaka Setia.
Suhendi, H. Hendi, 2010. Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hlm119-121
http://ilmumanajemen.wordpress.com/2009/06/20/pengertian-upah-dalam-konsep-islam/
[1]Afzalurrahman, 2000: 9
[2] Jusmaliani. 2008. Bisnis Berbasis Syariah. Jakarta: Bumi Aksara hlm 48-49
[3] http://ilmumanajemen.wordpress.com/2009/06/20/pengertian-upah-dalam-konsep-islam/
[4] Syafei H. Rachmat’, 2001. Fiqh Muamalah, Bandung : CV. Pustaka Setia, hlm. 129
[6] Syafei, H. Rachmat’, 2001. Fiqh Muamalah, Bandung: CV. Pustaka Setia, hlm.134
[8] Syafei’, H. Rachmat, 2001. Fiqh Muamalah, Bandung: CV. Pustaka Setia, hlm.134-135
[9] Syafei’, H. Rachmat, 2001, Fiqh Muamalah, Bandung: CV. Pustaka Setia, hlm.135